Sebuah Novelet Pembangun Jiwa, Karya Habiburrahman El Shirazy
Mata pemuda itu memandang keluar jendela. Lautan terhampar di depan mata. Ombak seolah menari-nari riang. Sinar matahari memantul-mantul keperakan. Dari karcis yang ia pegang, ia tahu bahwa feri yang ia tumpangi bernama Lintas Samudera. Tujuan feri yang bertolak dari pelabuhan Batam itu adalah pelabuhan Johor Bahru.
Ia memejamkan mata seraya meneguhkan hatinya. Ia meyakinkan dirinya harus kuat. Ya, sebagai lelaki ia harus kuat. Meskipun ia merasa kini tidak memiliki siapa-siapa lagi. Bagi seorang lelaki cukuplah keteguhan hati menjadi teman dan penenteram jiwa.
Ia kembali menegaskan niat, bahwa ia sedang melakukan pengembaraan untuk mengubah takdir. Mengubah nasib. Seperti saran Pak Hasan, ia harus berani berhijrah dari satu takdir Allah ke takdir Allah lain yang lebih baik. Feri Lintas Samudera terus melaju ke depan. Singapura semakin dekat di depan, dan Batam semakin jauh di belakang. Namun, Lintas Samudera tidak hendak menuju Singapura, tapi menuju pelabuhan Johor Bahru, Malaysia.
"Baru pertama ke Malaysia ya Dik?" tanya perempuan muda yang duduk di sampingnya. Perempuan itu memakai celana jin putih dan jaket ketat biru muda. Rambutnya diikat kucir kuda. Ia menaksir usia perempuan itu sekitar tiga puluhan lebih.
"Iya Mbak. Mbak juga pertama?" jawabnya balik bertanya.
"Tidak. Saya sudah empat tahun di Malaysia."
"Berarti sejak tahun 2000 ya Mbak?"
"Tidak. Sejak awal 2001."
"Kerja ya Mbak?"
"Iya Dik. Kalau adik, mau kerja? Atau mau sekolah?"
Ia berpikir sejenak. Ia tidak tahu pasti. Ke Malaysia mau bekerja atau mau sekolah. Sesungguhnya selama ini ia merantau dari satu daerah ke daerah lain, selain untuk bertahan hidup juga demi mencari takdir yang lebih baik.
"Kok malah bengong Dik?"
"E.... tidak, saya ke Malaysia mungkin untuk dua-duanya. Ya untuk cari kerja dan untuk sekolah lagi."
"Baguslah. Sudah ada pandangan mau kerja di mana? Atau sudah ada agen yang mengurus semuanya?"
"Belum sih Mbak. Nanti saya cari di sana saja. Mbak kerja di mana?"
"Saya kerja di sebuah kilah di kawasan Subang Jaya. Kalau adik mau, saya bisa bantu. Saya punya banyak teman yang bisa membantu. O ya kenalkan, nama saya Siti Martini. Biasa dipanggil Mar atau Mari."
Perempuan muda itu mengulurkan tangan kanannya. Pemuda itu juga mengulurkan tangannya dan menjabat tangan perempuan muda itu.
"Terima kasih. Nama saya Ahmad Zul. Oleh teman-teman saya selama ini saya biasa dipanggil Zul Einstein."
"Wah keren sekali. Memang namanya Zul Einstein?"
"Ya tidak Mbak. Saya diberi nama tambahan Einstein oleh teman-teman saya karena mereka melihat saya banyak melamun. Ya saya terima saja. Kalau tidak terima ya tetap akan dipanggil begitu. Jadi, panggil saja saya Zul Mbak."
"Ya baik. Saya panggil Dik Zul. Gitu ya," kata perempuan muda itu sambil melepaskan jabatan tangannya.
"Jadi Mbak kerja di kilang minyak ya Mbak?"
Perempuan itu malah tertawa kecil.
"Kamu memang masih asli Indonesia. Kilang itu artinya pabrik. Di Indonesia disebut pabrik. Sedangkan di Malaysia disebut kilang. Jadi bukan bermakna kilang minyak. Saya kerja di kilang kertas di kawasan Subang Jaya. Itu maknanya saya kerja di pabrik kertas."
"O.. begitu ya?"
"Rencananya nanti mau kemana? Di Malaysia sudah ada tempat yang dituju?"
"Tempat yang dituju secara pasti tidak ada. Saya hanya membawa sebuah nama dan sebuah nomor telpon. Saya ingin sampai ke Kuala Lumpur dulu, baru setelah itu saya telpon orang itu."
"Saya pun nanti lewat Kuala Lumpur. Kalau mau kita bisa jalan bersama."
Ia diam saja. Tidak menjawab apa-apa. Lintas Samudera terus melaju. Tidak terlalu cepat. Dan juga tidak terlalu lambat.
Setelah menempuh perjalanan selama dua jam, Lintas Samudera merapat di pelabuhan Johor Bahru. Begitu pintu feri dibuka, para penumpang berebutan keluar. Zul keluar dengan membawa tas cangklong hitam dan tas jinjing besar biru tua. Ia mengiringi Mari yang berjalan di depannya. perempuan itu menenteng tas cangklong putih dan koper kecil beroda warna hijau.
Mereka berjalan menuju gedung pelabuhan. Petugas security pelabuhan sibuk memeriksa barang bawaan para penumpang. Tas dan koper Mari diperiksa. Setelah beberapa saat lamanya, Mari dipersilakan langsung menuju imigrasi. Tas jinjing Zul juga diperiksa. Isinya hanyalah pakaian, beberapa makanan ringan dan sebuah mushaf Al Qur'an kecil pemberian Pak Hasan kala ia berpamitan sebelum berangkat. Petugas security itu memerintahkannya untuk terus jalan. Zul bergegas menuju imigrasi. Mari sedang serius mengisi formulir kedatangan untuk imigrasi.
"Harus diisi semua ya Mbak?" tanya Zul.
"Ya. Kecuali kolom yang khusus diisi petugas imigrasi," jawab Mari sambil tetap menulis. Sesekali ia mencocokkan apa yang ia tulis dengan paspornya.
"Ini kolom alamat selama di Malaysia juga harus diisi Mbak."
"Sebaiknya iya."
"Wah saya belum punya alamat Mbak."
"Pakai alamat saya juga tidak apa-apa."
"Di mana Mbak?"
"No. 8A, Jalan USJ 1/18, Taman Subang Permai, Subang Jaya. Nanti kalau pihak imigrasi tanya untuk apa datang ke Malaysia, bilang saja untuk melancong dan mengunjungi saudara."
"Iya Mbak."
Keduanya lalu masuk konter imigrasi. Tak ada masalah berarti. Petugas imigrasi sama sekali tidak bertanya apapun kepada Mari. Sebab ia masih punya visa multientry. Sedangkan Zul hanya ditanya untuk apa datang ke Malaysia. Zul menjawab seperti yang disarankan oleh Mari. Begitu keluar dari gedung, puluhan sopir taksi menawarkan jasanya. Mari menjawab tegas bahwa ia sudah ada yang menjemput. Zul agak bingung menentukan langkah. Beberapa sopir taksi menghampirinya. Ia masih ragu harus ke mana. Ia menatap ke arah Mari yang melangkah dengan mantap. Mari menoleh ke arahnya dan melambaikan tangan agar ikut dengannya. Zul merasa tidak ada salahnya pergi ke Kuala Lumpur bersama Mari. Apalagi ia benar-benar asing di negeri jiran ini.
Bersambung ....
Versi lengkapnya (e-book) silahkan download disini
0 komentar:
Posting Komentar