“Silahkan masuk, Mas. Gak usah malu-malu, Hayo..”ucap perempuan itu
kepada Budi sambil tangannya menarik tangan Budi untuk masuk ke dalam
kamar. “I-iya, Mbak.. terimakasih,” jawab Budi sedikit gugup.
Di
dalam kamar, mata Budi menjelajah seluruh ruang yang ada. Hanya ada
ranjang besar yang bersisian dengan lemari pakaian yang merangkap
sebagai meja rias. Lalu dari arah kaki ranjang, ada sebuah meja dengan
sebuah kursi yang tertata rapih. Asbak, gelas minuman serta piring yang
berada diatasnya. Poster-poster wanita setengah telanjang terpajang
hampir di semua dinding di sisi ranjang. “Ah, beginikah ruang kerja
sekaligus kamar para pelacur itu?” gumam Budi.
“Mas..” tegur
perempuan itu lagi kepada Budi. Sebelumnya dia memperkenalkan namanya
sebagai Delima. Entah nama samaran atau asli. Budi tidak perduli soal
itu. “Eh, iya, maaf.” “Jadi Mas ini cuma mau wawancara saya aja, nih?
Gak pake acara tidur bareng, nih?” Perempuan itu mengedipkan matanya dan
menggerakan tubuh gemulai mencoba menggoda. Pakaiannya yang
dikenakannya memang sangat terbuka, bisa terlihat jelas bagaimana buah
dada yang besar itu menggantung menggoda dalam kulit putihnya. Belum
lagi rok mini yang ia kenakan. Sedikit saja Delima salah memposisikan
duduknya, maka apa warna celana dalamnya itu bisa langsung terlihat.
Budi segera menggelengkan kepala dalam gugup. Wajahnya memerah seketika.
Beberapa kali menelan ludahnya sendiri. “ Ya-kiiin..?” Goda Delima
lagi. Membuat Budi semakin salah tingkah. Ini pertama kalinya Budi
mendatangi tempat pelacuran. Jadi semua serba baru dan sedikit
membuatnya risih dan malu Budi. Maklum, dia juga masih laki-laki normal.
“Ya-yakin, Mbak..” jawab Budi masih gugup sedikit menundukan kepala.
Sedangkan keringat mulai terlihat membasahi wajahnya karena ruangan yang
pengap, udara yang panas serta situasi yang membuat gerah diri Budi.
Memaksa butir-butir peluh sebesar biji kacang ijo itu keluar. “Ya, rugi
saya sebenarnya kalo begini aja, Mas. Kalau langsung tidur kan cepat,
tuh. Buka baju terus main dan selesai. Tapi kalo wawancara??.. Yaaa,
pasti lama ya, Mas?” Delima terlihat sedikit enggan ketika mengetahui
bahwa niat Budi tak berubah meski dia telah mencoba untuk menggodanya.
“Tenang, Mbak. Saya Booking Mbak Delima satu hari satu malam pokoknya.
Langsung saya bayar cash nanti.” Budi coba menenangkan hati Delima.
“Waaah, kalo begitu boleh, Mas. Gak rugi saya juga. Hayo! Mau tanya apa
sama saya?!” Delima kembali bersemangat setelah mendengar ucapan Budi
yang berniat membooking dirinya satu hari satu malam, hanya untuk sebuah
wawancara. Budi duduk di kursi dekat meja, sedangkan Delima duduk di
pinggir ranjang tepat di hadapan Budi. Rokok terselip di sela jari-jari
tangannya yang lentik.
Akhirnya terjadilah sesi tanya jawab
diantara mereka. Pertanyaan yang biasa di lontarkan Budi pada awalnya.
Sejak kapan jadi Pelacur? Kenapa jadi Pelacur? Bagaimana dengan keluarga
dan masa depannya? Apa rencana ke depannya setelah tua? Dan Delima
sepertinya sudah terbiasa dengan semua pertanyaan itu. Dijawabnya tanpa
ada ekspresi penyesalan ataupun sedih terlihat di wajahnya. Bahkan
Delima sesekali tertawa cekikian geli saat bercerita tentang pengalaman
pahit hidupnya sebelum dan sesudah menjadi pelacur.
Keakraban
mulai terlihat di antara mereka, sedangkan Budi sendiri juga sedikitnya
mulai tenang, jauh dari perasaan grogi sebagaimana awalnya. Dari sorot
matanya, Budi menyimpan rasa kagum akan sosok Delima yang sepertinya
menganggap semua kejadian yang menimpa kehidupannya adalah hal-hal bodoh
yang memang perlu ditertawakan. Meskipun Budi sendiri meragukan
kebenaran cerita Delima. Budi sadar betul, hal-hal seperti yang
dilakukannya saat ini, mewawancarai, sudah sering pula menjadi
pertanyaan dalam perbincangan antara Delima dengan para pelanggannya.
Yang kadang dibuat-buat demi menarik simpati semata.
“Kenapa Mbak Delima tidak pernah mencoba mencari pekerjaan lain? Menjadi TKW misalnya..” Sebuah pertanyaan diajukan Budi.
Delima
yang baru saja hendak menghisap rokoknya, sejenak melirik ke arah Budi.
Mulutnya sudah menganga, rokok telah berada di depan mulutnya. Namun
gerak tangannya berhenti. Lalu mulai berbicara,” Mas ini seperti tidak
tahu saja, bagaimana kabar tentang nasib para TKW dan TKI di negeri
orang. Daripada berada di Negeri orang disiksa atau dihukum mati. Yaa,
mending ngalamin itu semua di negeri sendiri, Mas..” Setelah berkata
itu, gerak tangannya yang memegang rokok dilanjutkan. Tidak lama
kemudian, asap keluar dari sela bibir dan juga hidungnya. “Hmm.. ada
benarnya juga sih, Mbak. Tapi.. Apa Mbak tidak berniat untuk menikah
lagi? kan kasihan anak-anak Mbak Delima kalau tahu Ibunya bekerja
seperti ini.” “Saya sudah menikah kok, Mas. Suami saya malah yang nyuruh
saya bekerja seperti ini.” “Lho??..” “Iya. Suami saya itu pengangguran
kelas berat. Susah cari kerja dan sudah malas sepertinya. Makanya,
supaya dia bisa tetap makan dan senang-senang dengan perempuan lain.
Saya yang disuruh cari uang.” “Hah?! Yang bener, Mbak?!” “Lho? Memang
begitu kenyataannya.”
Budi diam sejenak dalam rasa tidak percaya
mendengar cerita Delima. Apa benar demikian yang terjadi sesungguhnya?
Akh, serasa tidak mungkin. Tapi…. “Itu suami Mbak yang pertama?” tanya
Budi melanjutkan rasa ingin tahunya. “Bukan. Itu suami saya yang ke-3,
Mas” “Apa?! Yang ketiga?!!”
Delima tertawa melihat ekspresi Budi
yang terkejut, tidak percaya dengan apa yang baru saja ia katakan.
Sambil tertawa cekikikan, Delima menganggukan kepala, ”Iya. Yang ketiga”
Budi
menggelengkan kepala takjub. Pertama soal suami yang menyuruh Istrinya
melacurkan diri. Lalu kini, Delima mengatakan perkawinan dalam hidupnya,
yang bukan hanya sekali. Tapi.. tiga!!
“Mas sudah menikah?”
tiba-tiba Delima melempar pertanyaan balik. Membuat Budi sedikit
gelagapan untuk menjawab. “Be..Belum, Mbak. Belum laku. Belum ada yang
mau sama saya..”
Kembali Delima tertawa cekikikan, mirip kuntianak
yang mendapat kesenangan setelah berhasil menakut-nakuti manusia.
Disisa tawanya, Delima kembali bertanya kepada Budi. “Jadi.. Mas ini
masih bujangan, toh?”
Budi tertunduk malu. Hanya menganggukan
kepala yang menjadi jawaban untuk diberikan kepada Delima. Kamar itu
mendadak menjadi riuh oleh tawa Delima. Sedangkan wajah Budi mendadak
matang menahan malu. Ah, kenapa mesti malu menjadi bujangan? Gumam Budi
sendiri.
“Kalau begitu, Mas ini pasti suka sekali Onani, yah?”
Delima melemparkan tanya sambil senyum-senyum genit mengerlingkan mata.
“Tidak! Mbak Delima ini sok tahu kadang, yah?!” “Lho?? Biasanya lelaki
itu begitu, Mas. Kelihatannya aja alim dan tidak suka perempuan. Padahal
diam-diam dia sering berhayal sambil onani. Dan akhirnya ketika
menikah… Melempem!! Hahaha…” tawa Delima pecah memenuhi kamat itu sekali
lagi. Budi hanya senyum-senyum mendengar ucapan Delima dan melihat
tingkahnya itu. “Kok, Mbak Delima bisa tahu, sih?”tanya Budi kemudian
kembali menguasai keadaan. Bukankah seharusnya ia yang bertanya, kok,
malah Delima yang jadi banyak bertanya sekarang? “Itu karena pelanggan
yang biasa datang kesini. Kemampuannya di bawah rata-rata semua. Dan
mereka suka curhat sama saya, Mas” “O-oh..pantess… hapal betul.” “Ya,
tidak semua begitu, Mas.” “Jadi? Dalam hubungan sex itu, siapa yang
lebih bisa memuaskan Mbak Delima ini? suami atau pelanggan?” “Ya, suami
saya lah, Mas..” “Waah, suami Mbak hebat kalau begitu!”
Tawa
mereka berdua kini memenuhi ruang kamar itu. Perlahan-lahan Budi mulai
bisa melepas ketegangan yang semenjak awal memang menguasai dirinya.
Tapi untunglah semua kini berjalan jauh lebih menyenangkan, berbeda
dengan apa yang ada dalam pikiran Budi selama ini.
Delima sejenak
beranjak bangkit dari duduknya dan menghampiri Budi yang masih sedikit
menyisakan tawa di wajahnya. Lalu sengaja berhenti tepat di hadapan Budi
yang duduk di kursi. Posisi berdiri Delima dan posisi duduk Budi,
adalah posisi dimana buah dada yang besar itu tepat berada di depan
wajah Budi. Seketika wajah Budi memerah, keringat mulai kembali
bercucuran salah tingkah. Dan kembali Budi menelan air liurnya sendiri.
Delima tersenyum, membungkukkan tubuhnya hingga wajahnya tepat
menghadap wajah Budi. Dekaaatt.. sekali.. dalam posisi itu, Budi bisa
melihat belahan dada Delima yang menyembul keluar. Kakinya gemetar
seketika, seiring desakan dari dalam celana yang mendadak terasa sempit.
“Mbak….” Suara Budi berubah serak. “Yaa…” “Tolong… doong…” “Tolong apa,
Mas...?” “Jangan goda saya teruss….” Delima tergelak seketika.
Sementara Budi tertunduk malu. “Mas..Mas… Kamu itu masih polos ternyata,
yah?”ucap Delima kemudian. “Mungkin, Mbak.. tapi niat saya benar-benar
hanya ingin mewawancarai Mbak Delima, untuk bahan dalam membuat cerita,
Mbak.” “O-oh.. Jadi mas ini wartawan, toh?!” “Bukan, Mbak..”
“Penulis??..” “Nggg.. Baru belajar, Mbak…” “Oh, jadi saya ini bakal jadi
tokoh dalam cerita, Mas?” Budi menganggukan kepala, ”I-iya, Mbak..
kira-kira seperti itu” “Hmmm… boleh juga..”
Delima kembali duduk
di tepi ranjang di hadapan Budi. Namun kini kedua kakinya dinaikan ke
atas ranjang, sedangkan tubuhnya bersandar pada tembok kamar. “Jadi
menurut Mbak Delima itu, tentang lelaki itu bagaimana?” tanya Budi
kembali bertanya. Sejenak Delima seolah tengah berfikir sebelum akhirnya
menjawab pertanyaan Budi, “Sebenarnya laki-laki atau perempuan itu sama
aja, Mas. Sama-sama memiliki sifat dasar sebagai manusia yang memiliki
nafsu.” “Maksud,Mbak?” “Iya. Sama-sama manusia yang memiliki keinginan
dan mimpi-mimpi. Memiliki perasaan marah, suka, sedih, bahagia dan
lain-lain. Sama saja, Mas” “O-oh, begitu. Lalu?” “Iya, sebenarnya semua
sifat lelaki dan perempuan itu sama saja. Kalau lelaki suka dengan
perempuan karena nafsu, bukan berarti perempuan itu tidak punya nafsu
terhadap laki-laki. Kalau tidak begitu, mungkin tidak akan pernah ada
perselingkuhan kali, Mas.”
Budi cengengesan sambil manggut-manggut
tanda mengerti maksud dari ucapan Delima. Budi sebenarnya tidak
menyangka kalau ternyata seorang perempuan seperti Delima bisa memiliki
pemikiran seperti itu. Hal itu semakin membuat Budi semakin ingin tahu
lebih jauh tentang Delima dan juga kehidupan yang ia jalani. “Kenapa
Mbak Delima mau bertahan dengan suami Mbak itu? Padahal sudah
jelas-jelas dia suka main perempuan, bermodalkan uang dari hasil jerih
payah Mbak setiap hari.”
Untuk kali ini, sejenak Delima menghela
nafas panjang. Pandangannya jauh menerawang ke dalam pikiran dan
perasaannya sendiri. Akhirnya, Budi bisa melihat bagaimana Delima juga
memiliki perasaan yang sensitif sebagai perempuan. Delima menyalakan
kembali sebatang rokok untuk dihisapnya. Asap kembali menari-nari di
udara memenuhi kamar itu.
“Bagaimana ya, Mas… Saya sangat
mencintai suami saya dan selama ini saya lihat dia jujur. Tidak ada hal
yang dia tutupi dari saya. Dari semenjak pacaran dulu, saya sudah tahu
sifat-sifatnya seperti itu. Walaupun sebenarnya saya sakit hati, tapi
saya juga bukan orang suci. Karena, seperti yang Mas tahu, kalau
pekerjaan saya ini bukanlah pekerjaan perempuan baik-baik. Yang penting
sama-sama mengerti dan tidak main pukul sajalah. Itu sudah cukup buat
saya, Mas.” “Bisa ya, Mbak, seperti itu?..” Budi menggelengkan kepala
tidak percaya dengan apa yang ia dengar. Semua ini di luar dugaan. Apa
benar cerita sesungguhnya seperti itu? Budi tidak tahu pasti. Tapi dari
sorot mata Delima, Budi bisa melihat bagaimana semua itu dituturkan
dengan kejujuran tanpa dibuat-buat. “Ya, bisa lah, Mas! Buktinya saya
bisa seperti itu dengan suami saya,” Delima tersenyum nakal kembali.
“Eh, iya-ya, Mbak..” Budi juga ikut senyum cengengesan. “Tapi Mbak
Delima tidak takut akan dosa dan hukuman Tuhan?”
Sejenak Delima
tertunduk. Wajahnya berubah sedih mendengar pertanyaan itu. Berat dirasa
dalam hatinya kembali membebani. Namun sepertinya ia mencoba untuk
tegar dan tidak terlihat cengeng di depan Budi. Dihisapnya kembali rokok
di tangan untuk mengalihkan perasaannya itu. “Mbak…” Delima tersenyum
sambil mengarahkan wajah menatap Budi. “Pertanyaan agak susah ya, Mas..”
“Memangnya kenapa?” “Untuk urusan Tuhan.. Saya sebenarnya tidak terlalu
suka, Mas. Itu hal yang sangat pribadi dan sensitif bagi semua orang.”
“Hmm.. saya kurang paham maksud, Mbak Delima.” “Semua orang selalu
merasa benar atas keyakinan mereka, Mas.. Keyakinan yang satu merasa
paling benar atas keyakinan yang lain. Lalu bertengkar dan berselisih
paham. Bahkan kadang mengatas namakan Tuhan atas perbuatan-perbuatan
kasar yang mereka lakukan. Mungkin apa yang mereka lakukan itu benar.
Tapi caranya salah, Mas.. Itu sering terjadi di sini. Kami sering
dirazia oleh orang-orang yang mengatasnamakan kebenaran Tuhan untuk
melukai kami dan merusak mata pencaharian kami.” “O-oh.. saya pikir
apa.” “Kami memang pelacur dan kami memang bersalah atas pekerjaan ini.
Tuhan juga sudah jelas-jelas mengharamkan setiap perbuatan kami ini.
Tapi apa maksud Tuhan atas semua larangannya itu? Toh, semua itu buat
pribadi manusia itu sendiri, buat kita masing-masing. Mungkin karena
Tuhan tahu bahwa perbuatan kami akan berakibat buruk terhadap diri kami
sendiri, seperti risiko terkena penyakit menular, disiksa atau sampai
dibunuh. Dan bukan cuma masalah kehidupan saja. Kami juga merasakan di
dalam hati ini akibat pekerjaan kami, Mas. Semua larangan itu saya
anggap untuk kebaikan saya, agar terhindar dari semua itu, Mas.” “Wah.
Wah.. Mbak Delima ini hebat rupanya. Saya benar-benar tidak menyangka
kalau Mbak bisa berfikiran seperti itu,” ucap Budi penuh kekaguman.
Delima
hanya hanya tersenyum kecut menerima pujian itu. Tatap matanya begitu
sendu seolah duka yang selama ini disimpan erat-erat, akhirnya
terbongkar setelah sekian lama.
“Jadi.. saat semua orang
menghakimi saya dan memandang rendah pekerjaan saya ini. Saya tidak
terlalu perduli, karena saya tahu Tuhan tidaklah sepicik yang dipikirkan
banyak orang. Tuhan menginginkan kebahagiaan hamba-hambaNya. Seperti
orang tua yang juga menginginkan kebahagiaan anaknya. Melarang si anak
untuk berbuat ini-itu, semata demi kebaikan si anak itu sendiri. Sebab
orangtua lebih mengerti kehidupan ini dibanding anak-anaknya. Mungkin
Tuhan seperti itu. Tapi kebanyakan manusia selalu merasa paling tahu dan
paling benar, Mas. “
Setelah panjang lebar Delima bercerita, ia
berhenti sambil memandang langit-langit kamar. Tenggelam dalam
perasaannya sendiri. Budi sendiri jadi tidak tahu apa yang harus ia
katakan pada saat itu. Hanya berkata seadanya untuk menetralisir keadaan
seperti semula yang penuh dengan tawa dan canda mereka. “Ya, namanya
manusia, Mbak. Ya, seperti itu sifatnya..”
Delima tersenyum sinis
mendengar ucapan Budi. “Itulah, Mas.. Saya kalau ditanya tentang Tuhan
dan hukumannya kelak, saya sedikit sensitif.” “Hehehe.. Maaf. Maaf,
kalau begitu, Mbak..” “Makanya, Mas.. Kalau jadi orang jangan cuma bisa
berkoar-koar tentang kebenaran, lalu kemudian berbuat sok kuasa dan
merasa paling benar. Lalu menyakiti banyak orang. Kalau Mas bicara
tentang rasa takut pada Tuhan dan menganggap pekerjaan saya ini salah.
Kenapa Mas tidak bantu saya keluar dari pekerjaan ini? Kok, ya.. malah
mewawancarai saya..?”
Budi tersipu malu mendengar penuturan
Delima. Dia sama sekali tidak menyangka hal ini akan diucapkan oleh
seorang Delima, seorang Pelacur yang selalu dipandang hina oleh
kebanyakan orang.
Sambil garuk-garuk kepala yang tidak gatal, Budi
berkata kepada Delima,”Maaf, Mbak.. Saya cuma bisa bantu Mbak dengan
mengangkat cerita Mbak ini nanti. Itupun kalau saya bisa. Kalau tidak?!
Ya, maaf. Karena cuma segini kemampuan saya, Mbak.”
Delima
tersenyum kepada Budi. Lalu bangkit dari ranjang menuju meja untuk
mematikan puntung rokok diatas asbak. “Gak apa-apa, Mas.. Saya suka
dengan orang yang seperti Mas ini. Tidak munafik seperti kebanyakan
orang.” Budi tersenyum bangga mendengar ucapan Delima. Sedikit merasa
senang karena dirinya tidak dimasukan ke dalam golongan orang-orang yang
tidak disukai Delima, sebagaimana penuturannya tadi.
“Ya,
Mudah-mudahan, Mbak.. Dengan menjelaskan kepada semua orang, bahwa ada
baiknya tidak hanya bisa menghakimi orang lain dan menilai buruk
pekerjaan Mbak. Tapi lebih pada mengangkat mereka keluar dari
keterpurukan hidup dalam tindakan yang nyata. Semoga akan banyak orang
yang mengerti, Mbak” ucap Budi mantap. Delima kembali tersenyum dengan
senang.”Mudah-mudahan, Mas…”diambil dari Kompas.com
0 komentar:
Posting Komentar